Rela Ganti Kelamin Demi Pasangan Lesbiannya

Rela Ganti Kelamin Demi Pasangan LesbiannyaMencintai seseorang terkadang dapat menjadi hal yang penuh pro dan kontra, apalagi jika pasangan yang dicintai adalah pasangan sejenis apalagi pasangan transgender. Hanya waktu dan kesungguhan cintalah yang dapat membuktikan apakah hubungan tersebut benar-benar kuat dan tulus atau tidak, seperti dikutip dari situs Mail Online.



Di atap rumah apartemen Williamsburg, Inggris, Sadie menyebut dirinya lesbian gagal. Dia telah memiliki tiga pasangan lesbian. Dan semuanya sedang dalam proses transgender untuk menjadi pria. Termasuk pasangannya yang sudah menjalani hubungan selama dua setengah tahun ini. Ketika pertama kali ia jatuh cinta dengan Marco, Marco awalnya adalah seorang wanita dengan nama Erica.

Namun ketika Sadie berusia 25 tahun ia merasa bahwa dirinya nyaman sebagai seorang lesbian. Ia merasa ia dapat berkomitmen, ketika ia berhubungan dengan seorang pria yang juga heteroseksual, namun bukan kepada semua pria, tetapi hanya pria yang dapat berkomitmen juga pada dirinya.

Sekarang, ia dan pasangannya Marco berada di tengah-tengah hubungan yang agak rumit, bukan lagi pasangan lesbian, tapi juga bukan pasangan yang normal seperti pada umumnya. Setelah Erica menambah hormon testosteronnya, Sadie khawatir Erica akan berubah menjadi lebih agresif, seperti efek yang umumnya terjadi.

"Namun, setelah ia berubah menjadi pria, sebaliknya ia malah menjadi lebih tenang," ujar Sadie. Sadie berspekulasi kemarahan Erica berasal karena ia merasa terjebak pada tubuh yang salah. Setelah ia bertransisi, ia merasa lebih damai, dan penuh dengan kedamaian.

Menurut Badan Pusat Persamaan Transgender atau National Center for Transgender Equality (NCTE), 90 % orang yang melakukan transgender biasanya mengalami penganiayaan dan pelecehan. Sadie mengatakan bahwa Erica sudah mengalami konflik dalam waktu yang panjang, dan ia didiagnosa mengidap gejala Penyakit Kelainan Identitas Diri atau yang biasa disebut Gender Identity Disorder sedari kecil.

Sebelum tahun 1997, orang yang mengidap kelainan gender disebut sebagai waria, yang termasuk dalam golongan Disfungsi Sosial atau  “Social Disfunction” dalam Diagnosa dan Statistik Gangguan Mental (DSGM). Pada tahun 1997, edisi ketiga dari DSGM diluncurkan, transvestisme diklasifikasikan menjadi 3 subseksi yakni Transexualisme, Identitas Gangguan Gender pada Masa Anak - Anak, dan Gangguan Identitas Gender Atypical.

Menurut Nicole Giordano, Ahli Kesehatan Mental yang telah menyelesaikan riset tentang identitas gender, merasakan kebingungan identitas gender atau beberapa bentuk dari variansi gender sendiri bukan merupakan sebuah penyakit mental. "Sebaliknya pelanggaran norma yang mendefinisikan gender sebagai sesuatu yang biner dan diskriminasi sosial disertai dengan pengasingan menciptakan stress, depresi dan juga kecemasan," ujarnya.

Studi NCTE pada tahun 2011 juga menunjukkan fakta bahwa tingkat bunuh diri yang dilakukan oleh transgender juga lebih besar sebanyak 26 kali lipat dibanding orang biasa. Studi ini juga menambah pengetahuan mengenai statistik akurat seputar ketidak mungkinan adanya komunitas transgender. Sejak adanya stigma tersebut membuat banyak orang bungkam akan apa yang mereka alami.

Melihat Marco sekarang kita tidak akan mengetahui bahwa ia pernah menjadi seorang wanita. Ia memang agak mungil, namun bahu dan rahangnya lebih mengotak dan suaranya pun lebih berat.

Marco mengangkat payudaranya pada tanggal 2 Mei tahun ini, tanda dan bukti terakhir bahwa ia adalah Erica. Ia berencana untuk melakukan langkah terakhirnya yakni menjalani operasi kelamin pada Mei 2013.

Ia menggenggam tangan Marco, mengatakan semua akan berjalan dengan lancar dan mengingatkan pasangannya bahwa itu hal ini merupakan keinginannya dan mengingatkannya bahwa ia senang telah melakukan semua langkah tersebut. “Pada akhirnya, kami adalah pasangan yang lebih bahagia melebihi pasangan-pasangan lainnya. Kami bahagia, jujur, dan saling mencintai satu sama lain,” ujar Sadie.


Sumber: detik.com

Share :